Film ayat-ayat cinta sungguh fenomenal, terutama bagi bangkitnya perfilaman dengan napas Islami. Setelah film ini booming, para pekarya perfileman mulai melek dan berusaha untuk membuat film dengan latar Islami. Tercatat ada Chaerul Umam yang akan menyutradarai film yang diangkat dari Novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya dari penulis Novel “Ayat-ayat Cinta” Kang Abik. Juga ada Hanung yang kabarnya akan menyutradai kisah perjalanan pendiri Ormas Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan.

Namun, sebenarnya ada misi “istimewa” selain dari sekadar tontonan yang menyentuh hati. Di situ ada cerita poligami Fahri yang tidak diributkan oleh para penonton, bahkan para ibu-ibu yang pernah “menghujat” Aa Gym sekalipun. Tidak terdengar nada minor dari ibu-ibu seusai menyaksikan drama poligami Fahri yang “terpaksa” harus memadu Aisyah dengan Maria. Kenapa sepertinya kaum hawa tidak mempermasalahkan Poligami Ala Fahri, sementara—terkadang—membabi buta menghantam Poligami Aa Gym? Apakah karena Fahri adalah Tokoh Fiksi, sementara Aa Gym adalah Tokoh Religi yang ada dalam kehidupan nyata? Terlepas dari fiksi atau non realiti rasanya Poligami Fahri terasa lebih manusiawi dan dapat diterima dengan nurani daripada Poligami saat Aa saat menyunting Teh Rini.

Pertama, Poligami Fahri dilakukan atas permintaan istri pertama dan tanpa ditutup-tutupi, sementara Poligami Aa baru dipublikasikan setelah tiga bulan usia pernikahannya (meskipun menurutnya istri pertama sudah tahu) dan ada usaha untuk menutupinya dari sorotan media.

Kedua, Poligami Fahri karena niat suci untuk menolong menyelamatkan nyawa seorang gadis yang tergila-gila kepadanya, sementara Poligami Aa terkesan untuk “menolong” dirinya sendiri dari perbuatan zina.

Ketiga, Setelah berpoligami Fahri justru takut dirinya tidak bisa berbuat adil terhadap kedua istrinya, bahkan dia sempat curhat kepada temannya. Padahal, Fahri adalah seorang Mahasiswa Al-Azhar yang sudah menyelami samudra ilmu agama yang sangat dalam. Sedangkan setelah berpoligami Aa Gym yang mengcounter para pendemonya menyatakan bahwa mereka yang meributkan poligaminya adalah orang yang kurang ilmu, seakan-akan Aa menyatakan bahwa dirinya sudah “pasti bisa adil” karena sudah punya ilmunya.

Terlepas dari itu semua, yang patut diacungkan jempol adalah film ini menyajikan poligami yang sebenarnya masih kontroversi dengan kondisi yang manusiawi, sehingga dapat diterima oleh orang yang anti poligami sekalipun. Inilah dakwah bil hikmah (dengan cara yang bijak) sehingga mampu memasukkan inti tanpa menimbulkan riak-riak yang berarti.

Adik kelas Kang Abik
di Universitas Al-Azhar